Kamis, 17 Februari 2011

Beethoven's History

"Bagiku tidak ada hal yang lebih menggembirakan selain bertemu dengan Allah lalu sesudah itu memantulkan cahaya wajah-Nya kepada orang lain," de-
mikian tulisan Beethoven tentang perasaannya setiap kali ia mengurung diri dan menghasilkan sebuah karya musik.
Ludwig van Beethoven (1770-1827) memang telah memantulkan cahaya Tuhan dalam bentuk karya musik yang terus abadi hingga kini. Ia
telah mengarang ratusan simfoni, kuartet, sonata, variasi, fidelio, kantata dan banyak lagu gereja serta lagu umum.
Beethoven mulai belajar piano sejak berumur 4 tahun dari ayahnya yang keras dan kejam. Pada usia 12 tahun ia sudah menjadi organis gereja
di Koln dan mengarang karyanya yang pertama berupa tiga sonata untuk piano forte.
Begitulah jalan hidup Beethoven selanjutnya. Sebagai seorang yang tetap membujang seumur hidup, setiap hari ia mengarang karya musik.
Tiap kali mencari ilham ia mengurung diri sampai berhari-hari. Santapannya sering kali menjadi basi karena ia lupa makan. Lalu setiap kali ia berhasil
menyelesaikan sebuah karangan ia keluar dengan rasa girang. Ia merasa telah melihat wajah Tuhan. Ia merasa telah melihat cahaya ilahi, dan ia ingin
memantulkan cahaya itu kepada orang lain melalui karya musiknya. Ia merasa wajahnya bercahaya seolah-olah seperti Musa yang wajahnya sampai
harus diselubungi ketika "kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan" (Kel. 34: 29-35).
Spiritualitas Beethoven berbuah dalam bentuk karya musik. Tulisnya, "Tujuanku adalah menghadirkan kemuliaan Tuhan dan menggetarkan
kalbu para pemusik yang melantunkan lagu-lagu ini serta para pendengarnya."
Tetapi jangan mengira bahwa ilham ilahi membebaskan Beethoven dan jerih payah dan derita. Dulu ketika belajar piano sebagai anak balita
ia sering berlatih piano berjam-jam lamanya sambil menangis, sebab tiap kali ia membuat kesalahan ia dipukul oleh ayahnya. Kemudian hari ketika
sudah dewasa Beethoven bahkan duduk di depan piano ampai berhari-hari untuk menyelesaikan karangannya. Bakat karunia Tuhan hanya berkembang
jika disertai kerja keras orang yang bersangkutan. Tuhan mengembangkan orang yang mau mengembangkan dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya Beethoven juga menderita akibat rupa-rupa penyakit. Yang paling menyedihkan adalah gangguan pendengarannya.
Telinga adalah anggota tubuh yang paling digunakan Beethoven dalam berkarya. Akibatnya, telinganya cepat rusak. Pada usia 28 tahun pendengarannya
mulai berkurang. Kian lama kian parah. Ia memimpin konser padahal ia sendiri tidak bisa mendengarnya. Pada usia 44 tahun ia benar-benar puli.
Sejak itu ia tidak tampil lagi di panggung. Ia berkarya di rumah. Selain itu ia juga menderita beberapa penyakit lain. Ketika menyanyikan lagu "Kami
Puji Dengan Riang" dari Kidung Jemaat, No.3, tidak banyak orang tahu bahwa lagu itu diciptakan oleh Beethoven yang sudah tuli total dan sakit-sakitan,
pada usia 54 tahun.
Beethoven juga menderita kesulitan keuangan. Memang ia mengarang banyak karya musik, namun ia miskin. Ia sering menggadaikan barang
untuk menyambung hidup. Ia menulis, "Meskipun karanganku banyak diterbitkan, namun aku tidak bisa hidup dari karanganku." Pernah ia diminta oleh
Raja untuk mengarang namun ia tidak dibayar. Lalu ia menulis surat kepada Goethe, "Aku mohon bantuan Anda untuk menyebut karanganku kalau
bertemu baginda supaya beliau ingat untuk membayarku. Pikiranku memang melayang tinggi pada keagungan ilahi, namun aku juga terpaksa memikir-
kan ongkos hidupku. Aku tahu bahwa aku mengarang bukan untuk mencari uang, namun aku perlu biaya untuk berobat." Dunia baru mengetahui kepahi-
tan hidup Beethoven setelah surat-suratnya di publikasikan dalam buku Beethoven -- Letters, Journals and Conversations, suntingan Michael
Hamburger dan biografi Beethoven karangan Maynard Solomon.
Masa lanjut usia Beethoven sepi. Ia memang lebih suka menyendiri untuk mengarang daripada bergaul dengan orang-orang. Pada usia 57
tahun kesehatan Beethoven sangat menurun setelah ia keluar masuk rumah sakit untuk pembedahan. Ia terkapar lemah di ranjang ketika menerima
sakramen terakhir. Pada petang itu halilintar menyambar-nyambar dan menggelegar. Semua orang di ruangan itu sebentar-sebentar terkejut dan
menutup telinga karena guntur menggeledek. Tetapi Beethoven yang sudah tuli itu sama sekali tidak terganggu. Ia tenang. Ia tampak tersenyum. Ia
tidak mendengar apa-apa. Atau mungkin ia justru sedang mendengar sesuatu yang lain. Mungkin ia sedang mendengarkan paduan suara malaikat
yang menyanyikat sebuah lagu ciptaannya untuk menyambut dia di pintu rumah Bapa Surgawi.

0 comments:

Posting Komentar